Di antara hiruk pikuk pengunjung Kebun Binatang Surabaya (KBS), ada sosok yang tak pernah lelah mengabadikan momen kebahagiaan. Ia adalah Bowo, seorang fotografer keliling yang telah 20 tahun menjadi bagian tak terpisahkan dari ikon Kota Surabaya ini. Dengan kemeja flanel kotak-kotak hitam andalannya, jari telunjuknya selalu siap menekan tombol shutter kamera, mengabadikan senyum dan tawa dari para pengunjung KBS.
Bowo, yang memiliki nama asli Bambang Prayugo, lebih memilih sapaan akrab tersebut. Baginya, nama Bambang terlalu umum. Di mata para pedagang dan pengunjung KBS, ia dikenal sebagai Bowo, sosok ramah yang telah puluhan tahun mengabdikan dirinya di sana.
Setiap pagi, sejak pukul 07.00 WIB, Bowo telah siap dengan kamera Canon digitalnya yang tergantung di leher. Ia menyusuri sudut-sudut pintu masuk utara KBS, mencari pengunjung yang ingin mengabadikan kenangan mereka. Patung Suroboyo, ikon kebanggaan kota, menjadi spot favorit para pengunjung. Dengan sabar, Bowo mengarahkan pose mereka, memastikan setiap foto tampil memukau. Setelah sesi pemotretan, ia bergegas ke ruang percetakan terdekat untuk mencetak foto pilihan pengunjung. Selembar foto berukuran 6R dihargai Rp 10 ribu, dan ukuran 8R seharga Rp 20 ribu. Bagi para pengunjung, selembar kertas itu mungkin menjadi kenang-kenangan manis dari kunjungan mereka ke KBS.
Di balik senyum ramahnya, Bowo menyimpan kisah perjuangan yang luar biasa. Keterbatasan fisik tak menghalanginya untuk mencari nafkah. Setiap hari, ia melangkah, menempuh jarak yang tak terhitung, demi mengabadikan momen bahagia orang lain. Baginya, menyerah bukanlah pilihan bagi dirinya. Dengan penghasilan antara Rp 100-200 ribu per hari, ia mensyukuri setiap rezeki yang diterimanya. Kaki kanannya yang lebih kecil akibat polio sejak lahir, membuatnya berjalan terpincang-pincang. Namun, ia tak pernah mengeluh atau menggunakan alat bantu. Ia bersemangat membantu pengunjung mengabadikan momen mereka.
Kisah hidup Bowo diwarnai dengan berbagai tantangan. Selain polio sejak lahir, ia juga pernah mengalami kecelakaan motor yang membuatnya sempat kesulitan berjalan. Kecelakaan itu membuatnya enggan mengendarai motor lagi. Kini, ia mengandalkan bantuan saudaranya untuk transportasi sehari-hari dimana ia mencari nafkah.
Sebelum menjadi fotografer di KBS, Bowo pernah berjualan jagung rebus di kampung halamannya dan membantu orang tua di sawah. Keterbatasan ekonomi membuatnya hanya bisa menyelesaikan pendidikan hingga SMP. Namun, takdir membawanya ke dunia fotografi. Berkat bimbingan sang kakak, ia belajar memotret dengan tekun. Latihan demi latihan dilakoninya, hingga ia mahir menguasai teknik fotografi seperti sekarang.
Pada tahun 1989, Bowo merantau ke Surabaya bersama kakaknya untuk bekerja sebagai fotografer. Pekerjaan pertamanya cukup menantang, yaitu memotret para pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi Dolly, yang pada era 90-an dikenal sebagai lokalisasi terbesar di Asia Tenggara. Di sana, ia menawarkan jasa repro foto, menyalin foto bintang film agar pelanggan seolah-olah berfoto bersama idola mereka. Prosesnya pun masih manual, jauh berbeda dengan era digital saat ini.
Bekerja di lingkungan yang penuh godaan, Bowo memegang teguh prinsipnya. Ia menolak tawaran foto tanpa busana, karena takut membawa sial pada karir dan kehidupannya. Pengalaman seorang temannya yang mengalami kesulitan setelah menerima tawaran serupa menjadi pelajaran berharga baginya.
Selama 25 tahun, Bowo menjadi bagian dari dinamika Dolly. Ia menyaksikan pasang surut lokalisasi tersebut, hingga akhirnya ditutup permanen di bawah kepemimpinan Wali Kota Tri Rismaharini. Setelah itu, ia sepenuhnya fokus bekerja di KBS hingga saat ini.
Selama 36 tahun bergelut di dunia fotografi, Bowo lebih nyaman menggunakan kamera analog Canon STB. Baginya, fotografi analog memiliki tantangan tersendiri. Ia harus menguasai tiga kunci utama: diafragma, kecepatan, dan meteran. Ketidaksesuaian salah satu dari ketiganya akan menghasilkan foto yang kurang optimal.
Di tengah kemajuan teknologi, Bowo tetap mencintai dunia fotografi. Baginya, fotografi adalah pekerjaan ringan yang memberinya kepuasan. Meninggalkan istri dan kedua anaknya di kampung halaman, Bowo masih belum tahu kapan akan kembali. Namun, ia tetap semangat menjalani hidup di Surabaya, mengabadikan momen kebahagiaan di KBS, hingga usianya mencapai 60 tahun, atau bahkan lebih, selama ia masih kuat. Kisah Bowo adalah bukti bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk meraih mimpi dan memberikan yang terbaik bagi sesama.
Baca juga artikel kami lainnya hanya disini untuk mendapatkan informasi menarik khusus buat kamu!
Posting Komentar